Umar bin Khaṭṭāb -raḍiyallāhu 'anhu- menceritakan bahwa dirinya pernah mendengar Hisyām bin Hakīm -raḍiyallāhu 'anhumā- membaca surah Al-Furqān pada masa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan bacaan yang berbeda dengan bacaannya pada banyak lafal. Umar telah membacakan surah tersebut (dengan bacaannya) kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, dan ia mengira bahwa hal itu adalah sebuah kekeliruan dari Hisyām, sehingga hampir saja dia lompat dan manarik kepalanya ketika salat. Akan tetapi dia mencoba untuk tetap bersabar hingga dia salam, lalu menggenggam selendangnya dan melingkarkannya pada lehernya, seraya berkata, "Siapakah yang telah membacakan surah ini (dengan bacaan seperti itu) kepadamu?" Hisyām menjawab, "Rasullullah lah yang telah membacakannya kepadaku." Umar berkata, "Engkau telah berbohong! Demi Allah, sungguh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah membacakan surah tersebut kepadaku tidak seperti yang engkau baca." Kemudian Umar pergi menarik Hisyām menghadap kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, dan Umar adalah orang yang paling tegas dalam urusan (agama) Allah -Ta`āla-. Kemudian Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh aku telah mendengar Hisyām membaca surah Al-Furqān dengan lafal bacaan yang belum pernah aku dengar engkau membacanya, dan engkau telah membacakan kepadaku (bacaan) surah Al-Furqān tersebut." Lalu Rasulullah menyuruh Umar untuk melepaskannya, dan menyuruh Hisyām untuk membacakan surah Al-Furqān. Ketika Hisyām telah membacakannya, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seperti itulah Alquran diturunkan." Maksudnya adalah bahwa surah tersebut diturunkan dari sisi Allah sesuai dengan apa yang telah dibacakan oleh Hisyām, dan dia tidak keliru sebagaimana yang disangkakan oleh Umar -raḍiyallāhu 'anhu-. Lalu beliau menyuruh Umar untuk membacakannya, kemudian dia pun membacakannya. Lalu beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seperti itulah Alquran diturunkan." Maksudnya adalah bahwa Allah telah menurunkan surah tersebut seperti apa yang telah dibacakan oleh Umar sebagaimana halnya juga seperti yang telah dibacakan oleh Hisyām. Lalu beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya Alquran ini diturunkan atas tujuh huruf (dialek), maka bacalah apa yang mudah darinya." Umar dan Hisyām keduanya benar dalam hal bacaan surah tersebut. Sebab, Alquran diturunkan lebih dari satu huruf (dialek), namun diturunkan atas tujuh huruf (dialek), dan apa yang ada pada bacaan Hisyām bukanlah sebagai tambahan ayat-ayat pada bacaan Umar, akan tetapi hanya terdapat perbedaan pada huruf-hurufnya saja. Oleh karena itu, beliau -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda kepada mereka berdua setelah mendengar bacaan keduanya, "Demikianlah Alquran telah diturunkan." Dan hal itu dijelaskan kembali oleh sabdanya, "Sesungguhnya Alquran ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya." Maksudnya adalah janganlah kalian membebani diri atas satu huruf saja, karena sesungguhnya Allah -Ta`āla- telah meringankan dalam hal bacaan Alquran dengan tujuh huruf (dialek) sebagai bentuk kasih sayang dan keutamaan dari-Nya, maka bagi Allah-lah pujian dan sanjungan. Para ulama berbeda pendapat tentang penjelasan ketujuh huruf tersebut. Namun, yang dimaksud dengannya -yang tampak jelas, wallahu a`lam- adalah dialek-dialek dari sekian dialek Bahasa Arab. Alquran turun dengan dialek-dialek tersebut pada awalnya adalah sebagai bentuk keringanan, karena kaum Arab adalah kaum yang terpisah-pisah dan berbeda-beda. Setiap kaum memiliki dialek tersendiri, dialek suatu kabilah tidak sama dengan dialek kabilah lainnya. Akan tetapi setelah Islam menyatukan mereka semua, satu sama lain telah saling terhubung, permusuhan dan kebencian di antara mereka telah sirna karena datangnya Islam, serta setiap dari mereka telah mengenali bahasa atau dialek lainnya, maka Uṡman bin Affān -raḍiyallāhu 'anhu- menyatukan seluruh umat Islam di atas satu huruf (dialek) dari ke tujuh huruf tersebut serta menghilangkan yang lainnya, hingga tidak terjadi perselisihan.